Day 4: Kita dan riuh suara isi kepala

 

#30HariBercerita

20230104


Bagaimana kehidupan 4 hari di awal tahun? Apakah sudah kembali ke aktivitas rutin seperti overthinking tiap malam menjelang tidur?

Kita hidup di masa dunia maya menjadi tempat singgah sekaligus sungguh beragam umat manusia. Mereka menjadikan kanal media sosialnya sebagai rumah dimana mereka akan kembali pulang ketika hari-hari mulai memuakkan.

Padahal kita tahu, apa yang terlihat di media sosial adalah fana. Apa yang terlihat oleh orang-orang itu bukanlah apa yang terlihat dengan semestinya. Bukankah itu yang kamu lakukan juga? 

Coba deh, bagaimana ketika kamu diajak makan malam di tempat yang ciamik, dengan lihainya tanganmu memotret posisi makanan menjadi terlihat lebih lezat. Tak lupa dirimu membuka Lightroom versi free dengan modal mengunduh preset di internet. Ahh, sekarang fotomu terlihat sangat nyata dan makanan hasil potretmu semakin lezat. 

Bagaimana rasa makanannya? Biasa saja.

Bahkan kamu tak habis memakannya. Namun, kamu berhasil memiliki banyak foto makanan yang lebih dari satu jenis. Tak lupa juga, makanan yang dipesan oleh temanmu pun tak luput dari jepretanmu. Baiklah, kini kamu sudah memiliki banyak foto, apakah harus diupload sekaligus? Ohh tidak! Tunggu selang beberapa hari agar kamu terlihat sering hangout merasakan makanan mewah.

Tak hanya kamu, hampir semua orang yang menganggap media sosialnya sebagai rumah turut berlomba-lomba menghiasi profilenya. Branding diri di media sosial harus sempurna! Tak ada kekurangan. Tak lupa juga ikuti beberapa event, naik sepeda, berenang, lari pagi, semuanya harus dijepret. Setelah dijepret, ya sudah, hentikan saja kegiatan yang melelahkan itu.

Namun anehnya, kamu masih saja cemburu. Kamu masih saja merasakan iri, kepengin ikutan karena takut ketinggalan (FOMO), dan menganggap dirimu tidak puas dengan "kesempurnaan fana"mu itu.

Apa yang menjadi riuh di kepalamu adalah kesempurnaan fanamu itu, dimana kamu terlalu fokus pada menghiasi rumah bayangan yang sebenarnya bukanlah rumah. Media sosial adalah tempat seluruh umat berkumpul, membangun komunitas, dan terhubung dengan orang yang jaraknya jauh, bukan sebagai singgah maupun sungguh.

Apa yang sering kita lakukan adalah bersinggah dan bersungguh di media sosial. Kita menyempurnakan secara visual di media sosial tanpa turut menyempurnakan apa yang menjadi sesungguhnya dari kita. Wajah kita yang cantik dan rupawan karena hasil editing itu memberikan banyak pujian dari Instagram, tapi bagaimana ketika kamu pergi ke Alfamart? Apakah mas-mas kasir juga mengatakan kamu cantik? Jika tidak, sepertinya yang harusnya kamu anggap rumah adalah tempat dimana dirimu seharusnya berpulang, yakni dirimu sendiri dan orang yang kamu sayangi.

Ketika kita merasa lelah dengan lika-liku kehidupan menjadi karyawan dengan gaji UMR Jogja, setelah membersihkan diri dan berleyeh-leyeh, kita buka media sosial; Instagram, Twitter, TikTok, dan sebagainya. Kita melihat ada banyak manusia diluar sana yang kehidupannya sangat baik; makan makanan enak, hangout di tempat viral, punya barang bagus, melakukan ini, melakukan itu.

Lalu kita tunduk lemas "hidup orang-orang enak juga ya."

Selanjutnya kita sedih, menangis, dan merasa bahwa hidup tiada progress. Kita overthinking tiap malam, merasa bahwa semesta tidak seadil itu.

Untuk menghibur diri, akhirnya kita berencana pergi ke tempat hiburan, mencoba makan-makanan enak, hedonisme dengan membeli ini-itu dengan alasan self-reward, lalu memotretnya dengan angle terbaik dan editing yang bagus, dan.....upload!

Selang tak berapa lama, orang-orang menyukai hasil uploadmu, kamu pun senang! 

Tanpa kamu ketahui, diluar sana pun ada orang yang mengatakan "hidup orang-orang enak juga ya." setelah melihat kontenmu.

Jadi, seberapa banyak kamu kepikiran dengan kesempurnaan fana orang lain dan seberapa banyak kamu bikin orang lain kepikiran dengan kesempurnaan fanamu?

0 Komentar

Gocicil Tokopedia
Gopaylater Ads