Day 17: Kita dan mesin
#30HariBercerita
20230117
Selamat hari selasa!
Di dunia ini, kita sudah terbiasa berinteraksi dengan mesin. Bahkan setiap hari kita selalu berinteraksi dengannya. Katakanlah kamu ingin mengirim pesan untuk sahabat atau pacarmu, apakah kamu benar-benar berinteraksi dengannya?
Tidak, kamu sedang berinteraksi dengan mesin instant messenger WhatsApp, lalu mesin tersebut akan mengolahnya dan mengirimkannya kepada orang yang kamu tuju. Begitu juga jika orang lain mengirim pesan untukmu, itu bukanlah interaksi orang lain terhadapmu, tapi karena ada campur tangan mesin sehingga pesannya tiba ada di kamu.
Apakah kamu mau bukti untuk peristiwa ini?
Coba deh, jika kamu mengirimkan emoji tertawa, apakah kamu benar-benar tertawa?
Mungkin saja iya, tapi apakah itu selalu? Tidak kan?
Padahal, yang namanya interaksi bukankah kamu mengetahui bagaimana lawan bicaramu berinteraksi pun dengan segala ekspresinya?
Jika dia menangis, tertawa, sedih, kamu bisa melihat langsung ekspresinya ketika kamu berinteraksi langsung. Akan tetapi, bagaimana jika di WhatsApp?
Masalahnya, kita saat ini sudah terlalu percaya kepada mesin dibandingkan manusia.
Aku pernah mendapati sebuah pengalaman, dimana temanku ketika mau tarik tunai di mesin ATM, setelah dapat uangnya, lalu dia menghitungnya ulang. Aku pun bilang "buat apa ngitung lagi? mesin ATM pasti akurat ngitungnya."
Lalu dia menjawab "sama manusia yang ciptaannya Tuhan saja saya tidak percaya, apalagi mesin yang ciptaannya manusia."
Sekilas, mungkin kamu pun juga akan berpikir bahwa temanku ini aneh bin aneh banget. Bukankah mesin diciptakan untuk meningkatkan nilai presisi? Namun, kalau kita pikir-pikir lebih dalam lagi, apa yang dikatakan temanku ini sangat benar adanya. Kita terlalu percaya mesin yang itu saja dibuat oleh manusia.
Kita percaya dengan WhatsApp, dimana ketika sahabat atau pasanganmu mengirim emoji cinta dan kesenangan, kamu percaya sepenuhnya dan kamu menganggapnya itu beneran, padahal bisa saja dia mengirimkannya ketika sedang nahan ngantuk, bahkan tidak memiliki perasaan apa-apa.
Itulah mengapa, alasan kita semakin mudah terkena patah hati, karena kita terlalu berekspektasi jauh terhadap semua yang berinteraksi terhadap kita. Termasuk, foto-foto yang dikirimkan atau diunggah di Instagram, kita percaya sepenuhnya kepada (mesin) Instagram yang mampu mengolah foto burik menjadi ciamik. Yang aslinya manusia itu (maaf) tidak memiliki paras yang +++, tetapi karena olah filter Instagram menjadikannya paras +++.
Lalu pas ketemu? Ahhh, kamu kecewa, dongkol, dan tidak sesuai ekspektasi.
Kita selalu percaya mesin, dibandingkan manusia itu sendiri, bahkan terhadap ciptaan manusia sekalipun, yang dimana penciptanya saja pantang untuk kita mudah mempercayainya.
Jadi, apakah kamu masih mempercayainya?
0 Komentar