Day 13: Kita dan musik kesedihan

 

#30HariBercerita

20230113


I'm the first to say that I'm not perfectAnd you're the first to say you want the best thingBut now I know a perfect way to let you goGive my last hello, hope it's worth itHere's your perfect


Untuk menjaga agar tidur lebih terlelap dan dramatis, kita sering mendengarkan lagu-lagu sad vibes dari hasil playlist dari Spotify. Hampir tidak ada yang mendengarkan musik rock n roll ketika hendak mau tidur, kerap kali baik pria maupun wanita, semuanya menyukai musik sad vibes, bukan yang membakar semangat. 

Ah, bagaimana kalau di pagi hari? Bisa jadi lagunya lagu yang penuh jingkrak-jingkrak. Apalagi untuk menemani perjalananmu berangkat bekerja. Namun kembali lagi, yang justru menyenangkan justru mendengarkan lagu-lagu sedih, sembari naik kendaraan di tengahnya macet, sembari membayangkan sesuatu yang mempatah-hatikan. 

Kenapa ya kita menyukai mendengarkan lagu-lagu sedih? Lalu, jika kamu melihat top playlist dari platform penyedia musik manapun, lagu-lagu sedih menjadi lebih dominan menjadi musik yang paling banyak dan sering di dengar. Ini berlaku tidak hanya di negara kita, melainkan juga di seluruh dunia.

Kita juga bisa melihat, lagu sedih dinilai lebih laku dan sepanjang jalan. Bahkan lagu-lagu lama yang mengusung tema kegalauan pun akan dianggap nostalgia ketika kita memutarnya ulang.

Lagu sedih mampu memberikan kita ruang untuk melepas emosional karena perasaan kita terwakilkan melalui lirik-lirik yang dinyanyikan. Namun, kerap lagu-lagu sedih tersebut malah membuat kita menjadi lebih lemah, menjadi dramatis dalam menghadapi suatu persoalan, terlebih soal cinta.

Kita tak menjadi sekuat kita sesungguhnya. Menjadi lemah adalah titik dimana kita dapat dipatahkan dengan mudah oleh cinta. Boleh saja kita menikmati nyanyian lagu yang sangat mewakili perasaan kita, tetapi janganlah kita sampai terhisap di dalamnya. Jika kita terlalu mendalaminya, bukan perasaan yang terwakilkan lagi oleh lagu tersebut, melainkan justru kita membuat-buat perasaan sedih itu sendiri.

Ini juga sama dengan ketika kita menonton film bioskop yang menguras air mata, pemberian rating film menjadi tidak subyektif karena kebanyakan rating film terbaik adalah film-film yang mampu membuat nangis, sisanya yang ngasih CGI terbaik. Apapun itu, yang lebih menguras air mata menjadi lebih laku.

Bahkan termasuk dagangan sekalipun. Jika kita melihat thread Twitter yang meminta pertolongan karena ada penjual kakek tua yang dagangannya masih banyak, atau anak kecil yang di malam haripun masih nekat berjualan donat, kita sering retweet sebagai bentuk simpati dan memilih untuk membeli barang yang tidak berguna di kita dengan alasan "di kita mungkin tidak berguna, namun uangnya sangat berguna bagi mereka". 

Tetapi, pernahkah kamu kepikiran dari sekian banyak orang yang bersimpati untuk melarisi dagangan kakek-kakek tersebut, dilihat lagi semakin sering, dagangannya tidak pernah habis dan selalu banyak.

Thread di Twitter pun selalu ada, tidak pernah masalah tersebut terselesaikan. Apa jangan-jangan ini memang trick marketing? Artinya, ada supplier yang lebih bahagia dibandingkan kamu menolong bermaksud melarisi dagangannya.

Mengapa demikian? Karena memang sesuatu yang menyedihkan dinilai lebih laku karena itu langsung menyentuh di hati kita.

 

Jadi, sudahkah kamu lebih berhati-hati dalam menghadapi kesedihan? 

0 Komentar

Gocicil Tokopedia
Gopaylater Ads